Pada tanggal 24 September 1980, Sertifikat HGB No. 34 itu telah berakhir masa berlakunya dan tidak dapat diperpanjang lagi, serta telah diblokir oleh saudara M. Basri selaku kuasa hukum warga Kampung Kebonsari.
Kemudian sebelum SHBG itu diblokir, telah diupayakan pemecahan tanah yang mempunyai luas keseluruhan 7.867 m2 oleh pemilik SHGB No. 34 saudara Suwendro, menjadi 4 bagian yaitu :
Tanah seluas 1.677 m2 dan telah terbit SHGB No. 57/Sukolilo a.n. Hadi Susanto, salah satu dari 15 warga Jl. Plampitan Kampung Kebonsari RT. 04 RW. 03, Kelurahan Bangunharjo.
Tanah seluas 1.756 m2, telah terbit SHGB No. 58/Sukolilo a.n. Soegiarti
Tanah seluas 1.677 m2, terbit SHGB No. 59/Sukolilo a.n. Taerjono Mangkusasmito
Dan tanah seluas 2.757 m2, yang sebelumnya ditempati warga Jl. Plampitan Kampung Kebonsari RT. 04 RW. 03, Kelurahan Bangunharjo, sebelum direnggut paksa haknya.
Warga tidak dapat dimohonkan Sertifikat HGB sampai dengan berakhirnya SHGB No. 34, dan ironisnya kemudian telah terblokir serta tidak dapat dilakukan perpanjangan lagi.
Kami juga menemukan beberapa kejanggalan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, diantaranya sebagai berikut :
Kami telah menempati dan menggunakan tanah/rumah selama lebih dari 100 tahun secara turun temurun, akan tetapi tiba-tiba keluar SHGB yang sudah mati dan tidak dapat diperpanjang lagi, namun tetap dinyatakan sah.
SHGB Baru (pecahan), bukanlah sebagai penganti dari SHGB No. 34 yang telah mati itu, namun merupakan SHGB yang dimatikan dan telah dibalik nama sehingga SHGB No. 34 tidak ada penggantinya
Bahwa di luar lokasi pemilik SHGB mati tersebut telah dibatasi/berdiri tembok pembatas antara warga Kebonsari Plampitan dengan pemilik Hotel Plampitan dengan SHGB No. 34. Juga adanya batasan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) milik pemerintah/umum (jalan kampung dan gapura), sehingga hotel dengan SHGB No. 34 itu tidak menyatu dengan rumah-rumah warga Kebonsari Plampitan
Di lokasi rumah-rumah warga Kebonsari Plampitan, tidak ada asrama atau mess karyawan hotel sebagaimana disebutkan oleh pihak Penggugat (pemilik SHGB No. 34) dalam gugatannya.
Adanya saksi-saksi palsu.
Bahwa saksi yang bernama saudara Mardi Wibowo dan Bejo Sugianto, disinyalir sebagai saksi palsu karena mereka bukan warga Kampung Kebonsari dan tidak pernah tinggal disana sehingga dari keterangannya di pengadilan jauh dari fakta sebenarnya.
Baca Juga: Pasarkan Upal Lewat Medsos, FR Dicokok Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok
Pengadilan Negeri Semarang telah gagal melaksanakan sita eksekusi karena ukuranya tidak sesuai sebagaimana dalam gugatannya.
Kemudian pada tanggal 16 April 2016, 15 rumah warga Kampung Kebonsari yang bersebelahan dengan Hotel Plampitan Semarang itu diratakan dengan alat berat, setelah gugatan sengketa lahan dimenangkan oleh Bambang Nugroho selaku anak pemilik hotel itu.
Sampai dengan saat ini, masih berdiri gapura Kampung Kebonsari yang merupakan fasum/fasos. Ada apakah gerangan kenapa tidak berani dibongkar. Andai SHGB No. 34 masih berlaku, kenapa bisa terbit SHGB/SHM lain dengan lokasi yang sama dan keabsahannya terjamin.
Baca Juga: Jelang Ramadlan, Mahasiswa Desak Presiden Stabilkan Minyak Goreng dan Stop Bicara Pemilu
Artikel Terkait
Soal Menteri Penambang yang Diungkap Firli Diapresiasi Pengamat, Tapi Minta Sebut Namanya
PPLIPI Jabar Gelar P2LIPI Festival 1.0
Launching Konten Museum Subang, Bupati Ruhimat Bilang Begini
Berikan Paspor untuk WNI Keturunan di Filipina, Ini Kata Menkumham RI
Lomba Baca Al Barzanji dan Beauty Class di P2LIPI Festival