Persahabatan saya dengan Pak Bekti juga tentu menembus batas-batas pribadi. Dia sering bercerita tentang asal daerahnya di Cirebon. Saya ceritakan kepadanya, ketika saya pertama ke Cirebon naik kereta, waktu kereta berhenti dan saya mau turun memakai tangga. Di tempat turun, saya diberitahu petugas di stasion Cirebon, tangga kereta api itu “langka.” Saya pikir kata “langka” artinya sama dengan bahasa Indonesia, yaitu “jarang,” rupanya maknanya berbeda. Kata “langka” di Cirebon artinya “tidak ada.” Pak Bekti seperti biasa, mendengar cerita saya dengan tersenyum-senyum.
Begitu juga sebagai sahabat almarhum sering bercerita tentang anak-anak dan cucu-cucunya, termasuk salah satu anaknya yang masuk tentara, angkatan darat, mulai waktu pendidikan sampai pernah ditempatkan di Paspampres sampai dikirim keluar negeri sebagai bagian pasukan perdamaian dan seterusnya.
Saya mengalami sendiri, Pak Bekti seorang pribadi yang jujur. Tak pernah sedikit pun dia melenceng dari komitmennya, apalagi sampai “cheating” atau curang. Tak secuil pun hal itu ada di pikirannya, apalagi dalam tindak tanduknya. Dia orang yang tidak saja bersih, tapi sangat bersih. Jujur sampai ke sumsumnya. Dia tak tergiur dengan kemegahan duniawi. Pak Bekti orang yang sangat idealis.
Pada sisi lain Pak Bekti seorang yang sangat solider kepada persahabatan. Mau mendengar dengan sabar. Mau menolong. Mau membantu. Tapi almarhun juga seorang yang tegas. Dialah profil sejati wartawan yang mengabdi kepada profesinya. Seorang yang menempatkan profesi wartawan sebagai pekerjaan utama, bukan sekedar pekerjaan sampingan, sampai akhir hayatnya.
Saya mendengar pertama kali kepergian Pak Bekti dari WA staf Sekretaris PWI Pusat, Taty Mansur, di WhatsApp Group (WAG) “Warga PWI” pukul 07.28 Wib. Saya kehilangan seorang sahabat yang tulus yang punya artinya banyak buat saya. Saya bersaksi almarhum orang baik…orang baik….orang baik! Selamat jalan seniorku, sahabatku….Menghadaplah kembali kepada Sang Pencipta dengan jiwa yang tenang…..