Baca Juga: Matangkan Kick Off HPN 2026, Besok PWI Gelar Jalan Sehat Bersama Kapolri dan Gubernur Banten
“KPK adalah simbol tekad bangsa untuk membersihkan budaya korupsi. Ia bukan sekadar lembaga, tetapi representasi komitmen politik dan sosial untuk menjaga demokrasi,” kata Wijayanto.
Ia membagi perjalanan itu ke dalam tiga periode: era Gus Dur, era SBY, dan era Jokowi, yang masing-masing memiliki corak pencapaian berbeda.
Wijayanto menyebut periode 2007–2019 sebagai masa ketika pemberantasan korupsi melaju dengan progres nyata. Namun titik balik terjadi pada revisi UU KPK tahun 2019 yang melemahkan independensi lembaga tersebut.
“Sejak revisi itu, ruang gerak KPK semakin terbatasi oleh struktur politik dan administratif,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa melemahnya KPK bukan hanya persoalan lembaga, tetapi pukulan terhadap struktur demokrasi dan tata kelola negara.
Ia juga menyoroti persoalan dramatisasi kerugian negara dalam beberapa kasus. Menurutnya, perhitungan kerugian harus berbasis nilai faktual, bukan estimasi yang berlebihan.
“Di beberapa negara maju, kerugian dihitung berdasarkan nilai nyata. Di sini, angka sering terlihat besar karena metode penghitungan yang tidak konsisten,” kata Wijayanto, mencontohkan kasus pengadaan kapal ASDP yang dinilai ‘besi tua’ padahal merupakan investasi strategis.
Melihat situasi tersebut, ia menilai pemerintahan Presiden Prabowo masih memikul pekerjaan besar: mengembalikan independensi KPK, menata ulang hambatan administratif, mengakhiri dramatisasi kasus, serta menyusun standar pengukuran kerugian negara yang lebih ilmiah.
Baca Juga: Bergerak Diam-Diam, Ini Hasil Misi Satgas INDORDB XXXIX-G
“Pemberantasan korupsi bukan soal menciptakan sensasi di media sosial. Ini tentang membangun kepercayaan publik dan memperkuat demokrasi,” tegasnya.
Sementara itu, Redaktur Penerbitan LP3ES, Malik Ruslan mengajak peserta memahami bahwa korupsi tidak bisa dipandang hanya sebagai pelanggaran hukum atau administrasi, tetapi juga persoalan budaya politik dan moral publik.
Menurutnya, praktik-praktik sosial seperti budaya pemberian, hubungan patronase, dan norma sosial yang permisif membuat korupsi sulit diberantas hanya melalui penguatan regulasi.
“Setangguh apa pun sistemnya, ia akan runtuh jika manusianya tidak berubah. Pendidikan moral, budaya transparansi, dan kritik publik harus berjalan seiring,” kata Malik.
Melalui rangkaian diskusi ini, para akademisi menekankan pentingnya literasi demokrasi, penguatan institusi, dan perubahan budaya politik sebagai fondasi dalam menjaga keberlanjutan demokrasi Indonesia. √