Suparji menghormati putusan hakim tersebut, karena hakim adalah yang terbaik sebagai bentuk sarana penyelenggara negara hukum. Meski demikian, ia mengibaratkan putusan tersebut kepada para terdakwa dikenakan Pasal 3 tetapi dihukum dengan Pasal 5 tentang suap yang divonis lima tahun.
“Ini jadi sangat ironis. Dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tentang penyalahgunaan wewenang, menimbulkan kerugian negara dan perekonomian negara, tapi hukumannya yang ringan sebagaimana diatur Pasal 5 tentang suap,” jelasnya.
Menurut Suparji Ahmad, putusan ini tidak sebanding dengan apa yang telah terjadi di masyarakat saat minyak goreng hilang di pasaran, harus berdesak-desakan, mengantre berjam-jam, tetapi pada sisi lain diduga ada pengusaha yang bisa menjual CPO ke luar negeri mendapat untung besar, memperkaya diri, dan diduga atas bantuan oknum pejabat.
Baca Juga: Tim Penyidik Kejagung Tetapkan dan Tahan Tiga Tersangka Perkara BAKTI Kemenkominfo
“Jadi harus melakukan upaya banding untuk mendapatkan keadilan yang lebih tinggi,” tegasnya.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini berharap lewat sarana banding, hakim di tingkat banding bisa menghukum berat kasus minyak goreng tersebut, sehingga terpenuhi rasa keadilan di masyarakat.
“Mudah-mudahan hakim pengadilan banding menyatakan bersalah dan bisa memberikan hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup,” harap Suparji Ahmad. √
Artikel Terkait
Presiden Jokowi Terima Ketum PBNU di Istana Merdeka
Pertama di Indonesia, KPP Bekasi Raya Implementasikan NIK Sebagai NPWP di Pemkot Bekasi
Warga Pesisir Utara Jakarta Diimbau Waspada Banjir Rob, Ini Penjelasan BPBD DKI
Ini Harapan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Rakernas Kejaksaan RI Tahun 2023
Lantik Silmy Karim jadi Dirjen Imigrasi, Menkumham: Lakukan Enam Langkah Penting