aspirasi

Tasawuf dan Ketiadaan

Jumat, 26 November 2021 | 21:15 WIB
(SATUARAH.CO/SARMAN FAISAL)

Dalam teologi negatif Ibn Arabi, manusia dan alam adalah ketiadaan. Manusia dengan segenap kekuatan akal dan kemampuan untuk mengkonstruksi peradaban, bahkan merekayasa segenap alam yang dapat ia tundukkan hanyalah sebuah sosok-sosok wujud ketiadaan.

Manusia adalah maujud atas eksistensi Allah, dan kehidupan manusia hanyalah sendau gurau dan permainan semata. Kehidupan yang ia jalani hanyalah konstruksi imajinasi dan tidak nyata. Konstruksi imajinasi ini akan menghilang dan manusia menjadi eksisten ketika ia telah berada dalam alam kematiannya.

Baca Juga: Ditreskrim PMJ Ungkap Kasus Korupsi Pengadaan Penyediaan Data Storage

Eksistensi manusia adalah non eksistensi bagi Allah, maka dalam perspekstif Ibn Arabi, bagaimana manusia dapat mensifati Allah sebagai eksistensi mutlak, wujud wajib, sekaligus wujud mutlak? Ketiadaan manusia yang hanya bagai bayang-bayang dari hadirnya sebuah eksistensi yang sesungguhnya yaitu Allah, lalu bagaimana ia mampu menentukan kehendakNya sesuai dengan perspektif rasionalitas manusia yang non eksisten?

Dalam posisi manusia yang non eksisten ini, maka manusia menurut Al Ghazali hanya mampu menangkap rahman dan rahim Allah, dan bukan wujud mutlakNya. Dalam keadaan ini, bagi penganut Ghazalian, Allah difahami bukan dalam wujudNya, melainkan dalam sifatNya yaitu Rahim dan RahimNya. Sifat kasih-sayangNya yang ditanamkan dan dirasakan oleh manusia sebagai wujud relatif.

Negativitas Allah adalah dalam wujudNya, ketidakmampuan manusia dalam konstruksi relatifnya untuk memahamiNya dalam wujud. KehadiranNya yang mutlak menjadikan manusia berada dalam ketiadaan mutlak. Dia yang ada dalam ketiadaanNya, sekaligus yang tiada dalam keadaanNya.

Hukum-hukum Allah yang dihadirkan olehNya adalah keadaanNya dalam ketiadaanNya. Bahwa hukum-hukum Allah dihadirkan untuk menunjukkan eksistensi kemutlakanNya dalam ketiadaanNya. Dia yang hadir mutlak dalam ketiadaan. Mengapa manusia memahami sebagai ketiadaan sedangkan Dia adalah wujud mutlak? Tidak lain karena buah relativitas eksistensi manusia yang mengada. Dia yang tiada dalam ontologiNya, tetapi Dia ada dalam epistemologiNya. Dia yang ada sekaligus tiada, karena dia bukan makhluk, melainkan al-Haqq yang mutlak dalam eksistensiNya.

Baca Juga: Silaturahmi dengan SMSI Bekasi Raya, Pokja Wartawan DPRD Diminta Jangan Kendor Lakukan Fungsi Jurnalis

Puncak dari eksistensi manusia kesadaran akan posisi non eksistensi manusia itu sendiri. Manusia berada dalam ketiadaan makna, ketiadaan peran dihadapan Allah dan semesta alam. Begitu kecil dirinya dihadapan alam semesta yang seakan tak bertepi, betapa kecilnya ia dihadapan ombak laut yang mengganas, sedangkan alam semesta ini begitu kecil dihadapan Allah lalu apa makna dan hakikat manusia itu sendiri? Menyadari ketiadaan adalah memahami keagungan Allah itu sendiri.

Tasawuf mengajak manusia memahami ketiadaan dirinya dihadapan diriNya. Manusia adalah bentuk sosok eksistens karena ia adalah khalifah, sebuah citra bentuk yang paling sempurna untuk menjelaskan eksistensi Allah itu sendiri. Dalam eksistensi struktur tubuh manusia terdapat tanda-tanda kebesaranNya. Di dalam dirinya terdapat cahaya Allah berupa rahman dan rahim yang menjadikannya eksis.

Dalam diri manusia sekaligus menunjukkan sebuah non-eksisten. Manusia juga sebagai zat yang tak memiliki makna, karena sesungguhnya selainNya hanyalah wujud ketiadaan dan ketidakabadian. SelainNya adalah non eksisten, jikalau dianyatakan ada, maka kehadiran makhluk tak bermakna yang diadakan dan dihadirkan olehNya. Manusia yang tak memiliki kemampuan untuk hadir atas kehendaknya sendiri dan menjelaskan kekuasaan ontologis Allah dalam konstruksi nalar yang terbangun. Akankah eksistensi ego mampu memahami hal ini?. ✓ )* Dosen Universitas Al Azhar Indonesia)

Halaman:

Tags

Terkini