Yang kemudian penghasilan ini bisa dikenakan pajak sebesar 22 persen-32 persen secara final.
Menurut Abdullah Syarifuddin saat pengembang X menjual lembar kepemilikan saham REIT, Negara juga dapat mengenakan pajak penjualan saham REIT sebesar 2,5 persen.
Sehingga, sebagai contoh ketika pengembang X menjual 4 juta lembar sahamnya untuk bisa mendapatkan Rp 4 triliun.
Maka Negara dapat mengenakan pajak sebesar Rp 100 miliar (Rp 4 triliun x 2.5 persen), dan pengembang X menerima penghasilan bersih sebesar Rp.3.9 triliun.
Baca Juga: Kelurahan Bahagia Gelar Musrenbang Tahun 2026, Marjaya: Nanti akan Kita Dorong
Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa skema REIT dapat mengaitkan mall milik pengembang X ke pasar modal serta mendongkrak penerimaan perpajakan dari intensitas transaksi jual beli saham REIT.
“Tanpa REIT, potensi penerimaan pajak sebesar 2.5 persen hanya muncul ketika pengembang X memutuskan untuk menjual propetinya secara langsung. Namun, dengan mengkonversikannya menjadi lembar saham pada REIT, nilai dari transaksi properti ini menjadi lebih kecil, namun dikompensasi dengan peningkatan volume transaksi yang signifikan," ungkap Abdullah.
REIT sebenarnya sudah ada di Indonesia dengan nama Dana Investasi Real Estat (DIRE). Namun, skema ini belum sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip REIT yang modern.
DIRE masih mengalami kendala dari sisi inefisiensi, struktur bisnis, dan perpajakan. Sehingga instrument DIRE ini belum sepenuhnya optimal. √