Pakar Pertahanan, Soleman B Ponto: Revisi UU TNI Kunci Penegasan Garis Komando Militer

photo author
- Senin, 21 April 2025 | 07:00 WIB
Soleman B Ponto
Soleman B Ponto

SATUARAH.CO - Dalam dinamika sistem pertahanan negara yang terus berkembang, peran dan posisi militer dalam bingkai konstitusi kerap menjadi perbincangan hangat. Isu seputar hubungan sipil-militer, penegakan supremasi sipil, serta kejelasan garis komando pertahanan menjadi sorotan, terutama di tengah upaya reformasi sektor keamanan yang berkelanjutan.


Garis komando dalam struktur pertahanan negara harus tegas, tidak boleh tumpang tindih, dan sepenuhnya berpijak pada prinsip demokrasi serta supremasi sipil.

Hal ini dijelaskan Kabais TNI 2011–2013, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, di Jakarta, Jumat (18/4/25).

“Dalam sistem pertahanan negara yang demokratis, tidak boleh ada ambiguitas antara pembuat kebijakan dan pelaksana operasional di lapangan. Garis komando harus tegas,” tegas Ponto.

Baca Juga: Paska Kemacetan Panjang, Pelabuhan Tanjung Priok Kembali Normal

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang dinilainya sudah mengatur relasi kewenangan antara Menteri Pertahanan dan Panglima TNI secara jelas.

“Menhan bertugas menetapkan kebijakan strategis, termasuk soal anggaran, pengadaan, hingga pembinaan industri pertahanan. Sementara Panglima TNI bertanggung jawab atas operasional militer, kesiagaan pasukan, dan profesionalitas prajurit,” jelasnya.

Namun menurut Ponto, kejelasan ini kini terancam kabur dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia.

“Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU TNI yang baru justru memperluas ruang lingkup Menhan. Frasa ‘pemeliharaan dan/atau perawatan’ masuk ke dalam koordinasi Menhan. Ini beririsan langsung dengan tugas Panglima,” ungkapnya.

Berpotensi Timbulkan Dualisme

Mantan Kabais TNI ini menilai, penambahan frasa tersebut bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, bahkan konflik dalam praktik pertahanan nasional.

“Kalau alat utama sistem persenjataan (alutsista) rusak, siapa yang bertanggung jawab? Kalau dua pihak merasa punya wewenang, maka garis komando akan kabur. Ini berbahaya,” katanya.

Menurutnya, situasi tersebut bisa berakibat fatal dalam situasi darurat, di mana kecepatan dan ketegasan pengambilan keputusan adalah kunci.
“Bayangkan bila keputusan teknis lapangan harus menunggu sinkronisasi birokrasi antara dua lembaga. Di medan perang, itu sama saja bunuh diri,” ujarnya.

Baca Juga: Ini Alasan Resmi Pemkot Bekasi Soal Pemberhentian Dirut PT Mitra Patriot

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Budhie

Tags

Rekomendasi

Terkini

X