Indonesia Sudah Bertentangan dengan Pancasila, Begini Penjelasan Eggy Sudjana

photo author
- Minggu, 13 Februari 2022 | 16:50 WIB
Dialog Kebangsaan bertajuk 'Menyongsong 100 Tahun Indonesia 'Revitalisasi Peran Strategis HMI untuk Indonesia Adil, Makmur dan Beradab' di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/2/2022). (telusur.co.id)
Dialog Kebangsaan bertajuk 'Menyongsong 100 Tahun Indonesia 'Revitalisasi Peran Strategis HMI untuk Indonesia Adil, Makmur dan Beradab' di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/2/2022). (telusur.co.id)

"Menurut hemat saya, kita harus kembali ke UUD 1945 asli dengan adendum sehingga kembali kepada MPR bersidang. Supaya tidak ada lagi yang namanya Presidential Threshold itu," katanya.

Baca Juga: IMM Jatim Nilai Menteri PKB Nyusahin Rakyat

Dalam adendum, Abdullah Hehamahua membolehkan untuk memasukkan poin-poin apa saja dalam memperkuat demokrasi.

"Misalnya mau memasukkan adanya penguatan peran DPD RI, ya silahkan," ujarnya.

Dalam dialog tersebut, dia juga menyoroti tentang ibu kota negara baru (IKN). Dimana Abdullah Hehamahua dan beberapa tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) sedang menggugat UU IKN ke MK.

Baca Juga: Evaluasi Pengamanan di Wadas, KSP Dorong Dialog Intensif Antara Pemerintah dengan Masyarakat

"Saya tidak bicara uji formil UU IKN. Kita bicara gugatan materiil. Banyak alasan tidak logis dari pemerintah dalam memindahkan ibu kota ini," ucap dia.

Lanjut Abdullah, kalau alasan ibu kota pindah karena Jakarta banjir, beberapa waktu lalu Penajam Paser Utara juga banjir.

"Kalau dibilang karena macet, kenapa dari Jakarta dibangun kereta api cepat ke bandung. Setelah dibangun lalu ibu kota dipindahkan. Jadi seperti mengada-ada," tuturnya.

Baca Juga: Aspek Indonesia Sebut Pemerintah Tidak Punya Kepekaan Terhadap Buruh

Sedangkan pakar hukum tata negara Refly Harun berbicara tentang Presidential Threshold. Menurutnya, tidak ada rasionalitas penerapan PT 20 persen.

"Tidak ada dasar lagi untuk menerapkan PT 20 persen, terutama karena pilpres dan pileg dilakukan serentak," katanya.

Refly juga menyatakan keheranannya dengan adanya 22 putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan PT 20 persen.

Baca Juga: Gus Nabil: NU dan PDIP Konsisten Mengawal Kesatuan dan Nasionalisme

"Kalau ada 22 putusan pengadilan untuk hal yang sama dan masih ada juga rakyat yang mengajukannya, yang jadi pertanyaan putusannya yang salah atau rakyatnya. Kalau kata saya, artinya putusannya yang salah," kata Refly.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dudun

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X