Dengan berpuasa, jiwa-jiwa rendah manusia yang selama ini terikat oleh tarikan dunia material ditransformasi agar mampu menguasai dan mengontrol dorongan hawa nafsu bukan malah dikuasai dan dikendalikan olehnya.
Hasil akhirnya jiwa (Nafs) yang telah melakukan penyucian dengan puasa akan menjadi murni dan memiliki kesiapan (isti'dad) untuk menerima limpahan cahaya-Nya.
Jiwa ini menjadi Nafsu yang diridhai (al-Nafs al-Mardhiyyah) dan Nafsu yang tenang (al-Nafs al-Muthmainnah).
Mencapai kualitas puasa yang mampu membakar seratus hijab dan mendaki seribu derajat dalam perspektif Rumi tentu tidak mudah dilakukan. Diperlukan niat yang tulus, kesungguhan serta kesabaran agar mampu mewujudkan kualitas puasa tersebut. Kualitas ini sejalan dengan substansi tujuan puasa sendiri yaitu membentuk pribadi bertaqwa (QS.2:183).
Puasa bagi para pendaki/pejalan spiritual tidak lagi dimaknai sebagai pergulatan menahan jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat perut dan birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu.
Tapi adalah perjuangan jiwa dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan dosa-dosa batin.
Dosa lahir bersumber dari tujuh anggota tubuh, dua mata, dua telinga, mulut, perut, dan kemaluan. Dosa batin adalah segala hal-hal yang mampu menyeret hati ke lembah menduakan Tuhan (syirik khafy), semisal, ‘ujub, takabbur, riya’, sum’ah, hasad, cinta dunia dan lain sebagainya.
Tapi bagi para pejalan Spiritual (Sufi) yang telah mencapai maqam (derajat) akhir dalam perjalanan spiritual, puasa itu bukan lagi berkisar dalam peperangan hati dari segala dosa-dosa batin, karena dengan melalui perjalanan suluk yang panjang, melintasi beberapa tangga-tangga ma’rifatullah, hati mereka menjadi bening, bersih dari noda-noda batin.