SATU ARAH - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menginisiasi pendirian Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kelurahan Ngalang, Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul, Provinsi DI Yogyakarta.
Melalui SLI, petani tetap bisa menggunakan ilmu titen, yang merupakan ilmu tradisional Jawa untuk membaca gejala alam, dikolaborasikan dengan teknologi prakiraan cuaca oleh BMKG.
Dulu, para petani tradisional dalam menentukan masa tanam selalu mengandalkan pranata-mangsa, perhitungan iklim berdasarkan ilmu titen yang turun-temurun. Tapi kini, setelah terjadinya anomali iklim yang sulit diprediksi, cara-cara lama itu sulit digunakan lagi.
"Dalam ikut membantu menghindari dampak salah mangsa tadi, BMKG menginisiasi pendirian SLI yang ketiga di Gunungkidul," kata Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Selasa (3/11/2020), saat memberi sambutan virtual SLI dan panen perdana.
Sultan mengatakan, kehadiran BMKG lewat SLI, selain untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi, juga bisa memberi advis dan pengadaan tanaman untuk konservasi air. Seperti penanaman pohon produktif agar sumber mata air tetap terjaga, juga diperlukan jenis tanaman untuk menjaga stabilitas tanah serta mencegah erosi dan longsor, seperti akar wangi tumpangsari dengan rumput gajah.
SLI BMKG digelar dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas hasil petani di kawasan terkait, dalam konteks ini untuk Gunungkidul.
"SLI merupakan salah satu kegiatan rutin BMKG sebagai bentuk pelayanan untuk masyarakat dengan memberi literasi mengenai banyak hal terkait meteorologi, klimatologi, dan geofisika," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati dalam sambutannya mengatakan, SLI Operasional bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani, Pusat Penyuluhan Pertanian (PPT) dan Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) dalam memanfaatkan informasi iklim di wilayah kerja.
SLI ini untuk antisipasi terhadap dampak fenomena iklim ekstrem serta menjadi langkah adaptasi terhadap usaha pertanian apabila terjadi iklim ekstrem seperti banjir atau kekeringan.
"Sebelumnya, BMKG telah mengeluarkan informasi mengenai anomali iklim La Nina dalam kaitannya dengan potensi musim hujan tahun 2020/2021. La Nina adalah kondisi penyimpangan (anomali) suhu permukaan laut Samudra Pasifik, terjadi dalam skala waktu beberapa bulan hingga tahun yang mempengaruhi iklim global," kata Dwikorita.
Sedangkan badai atau siklon tropis adalah fenomena ekstrem gangguan cuaca dalam skala ratusan kilometer yang memiliki dampak bersifat regional baik dampak langsung maupun tidak langsung, dan berlangsung dalam beberapa hari.
La Nina yang berkembang bersamaan dengan musim hujan diprediksikan akan meningkatkan curah hujan 10 hingga 30 persen dalam satu bulan untuk wilayah Gunungkidul.
Kondisi tersebut berdampak positif terutama bagi wilayah-wilayah yang biasanya kering, seperti Gunungkidul, akan mendapatkan pasokan air yang cukup bahkan lebih. Untuk memanfaatkan pasokan air tersebut, petani-petani Gunungkidul sudah menyiapkan tampungan air berupa dam air di Kali Ngalang untuk mengairi lahan pertanian dan mengendalikan air agar tidak banjir.
"Namun perlu juga diwaspadai dampak negatifnya, yaitu meningkatnya potensi longsor khususnya di Kecamatan Gedangsari yang secara topografi memang rawan longsor. Hal ini bisa diantisipasi dengan melakukan pengaturan tata air. Perlu ada sistem drainase atau suling-suling di lereng-lereng untuk mengalirkan air. juga perlu ditanam tanaman yang mengikat tanah, dan tidak memberikan pembebanan kepada lereng yang berlebih dan tidak memotong lereng," ungkap Dwikorita.