Ia menegaskan, fungsi koordinasi Polri terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diatur dalam KUHAP maupun UU Polri bersifat administratif, bukan struktural.
Karena PPNS dibentuk melalui undang-undang sektoral (lex specialis), kedudukannya setara dengan lembaga penyidik lain.
“Tafsir yang salah terhadap fungsi koordinasi bisa berbahaya, karena berpotensi menciptakan dominasi kelembagaan,” tegasnya.
Terkait sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah penyidik utama, Ponto justru menilai hal itu sebagai sikap kelembagaan yang sehat.
“Itu bukan bentuk rivalitas antar lembaga, melainkan tanggung jawab konstitusional untuk menjaga keseimbangan hukum nasional,” katanya.
Baca Juga: Kapolri Kunjungi Korban Ledakan SMAN 72 di RSI Cempaka Putih
Di akhir wawancara, Soleman B Ponto menegaskan, pentingnya menjaga prinsip checks and balances agar penegakan hukum tidak bergeser menjadi monopoli kekuasaan.
“Negara hukum tidak boleh memberikan monopoli kebenaran kepada satu lembaga. Kalau penyidikan hanya boleh dilakukan oleh satu pihak, maka fungsi kontrol mati, dan keadilan ikut dikubur bersamanya,” pungkasnya.
Pandangan keras Soleman B Ponto ini menjadi sorotan di kalangan akademisi dan penegak hukum.
Banyak yang menilai, kritiknya merupakan peringatan dini terhadap bahaya sentralisasi kewenangan penyidikan, terutama di tengah pembahasan revisi KUHAP dan reformasi kelembagaan hukum yang sedang bergulir. √