Naupal Al Rasyid, SH., MH *)
MESKIPUN oleh Von Savigny menyatakan bahwa hakim bukanlah corong undang-undang, seorang hakim harus dapat menggali nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat atau yang dinamakan sebagai the living laws, atau dengan kata lain, hakim harus dapat menemukan hukum (rechtsvinding), namun realitasnya paham positivisme atau aliran hukum murni yang dipelopori oleh Hans Kelsen menghendaki hukum harus dibebaskan dari anasir-anasir non yuridis dan implementasi paham ini akan menempatkan aparat penegak hukum sebagai pihak yang harus melihat hukum sebagaimana tertulis (dassollen).
Dengan kata lain, perspektif normatif penemuan hukum dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Terminologi “menggali” yang dipakai dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 dapat ditafsirkan sebagai proses untuk mencari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang tidak “terlihat” dalam peraturan hukum yang tertulis.
Hal ini sesuai dengan apa yang dinyantakan oleh Paul Scholten dalam bukunya Algemeen deel, bahwa di dalam perilaku setiap manusia atau orang itu sendirilah dapat dijumpai adanya hukum.
Dan, dalam setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya. (Paul Scholten, 1934).
Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pertimbangan karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), namun penemuan hukum (rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim termasuk di dalamnya Hakim Konstitusi juga tidak serta merta dilakukan dengan melampaui batas kewenangan yang dimiliki.
MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sehingga citra MK sebagai peradilan yang modern dan terpercaya harus terpelihara dan kini merupakan satu-satunya institusi negara yang berwibawa. Akan tetapi, dalam aktualisasi kelembagaannya MK tidak mudah mengingat begitu strategis dan berpengaruh kedudukan dengan kewenangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila saat ini muncul wacana tentang dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Ahad (28/5/2023) yang berjudul “Bocorkan Putusan MK, Denny Indrayana: Pemilu Kembali ke Proporsional Tertutup”, Prof. Denny Indrayana telah mengemukakan Pemilu 2024 akan diputuskan Mahkamah Konstitusi secara tertutup. Artinya, MK secara kelembagaan akan menerima gugatan proporsional terbuka dan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup layaknya era Orde Baru. Selanjutnya, sebanyak delapan fraksi DPR menegaskan menolak diterapkannya sistem pemilu proporsional tertutup.
Ke delapan fraksi itu menggelar konferensi pers penolakan. Mereka ialah, Partai Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Partai Demokrat, NasDem, dan PKS. Hanya Fraksi PDIP yang absen dalam konferensi pers tersebut. (cnnindonesia.com Selasa, 30 Mei 2023).
Secara kelembagaan kemandirian atau independensi MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, mengharuskan adanya perlindungan dari pengaruh sistematisasi cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Bersumber dari _ajaran klasik Trias Politika Montesqiue yang dilihami ajaran John Locke_ terus mengalami perkembangan dan paradigmanya yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga, di mana Trias Politica berasal dari bahasa Yunani “Tri” yang berarti tiga, “As” yang berarti poros atau pusat, dan “Politica” yang berarti kekuasaan. Adapun definisi dari Trias Politica adalah suatu ajaran yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif adalah membuat undang-undang, kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. (Abu Daud Busroh, 2010).
Tentang pentingnya independensi MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, patut disimak apa yang dikemukakan oleh Alexander Hamilton (dikutip Aidul Fitriciada, 2005) mengemukakan perlunya jaminan proteksi terhadap penegakan kemandiriannya. Jaminan proteksi kekuasaan kehakiman itu harus ada karena kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah. Dikatakan lemah karena lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman tidak memiliki pengaruh baik kekuasaan _(sword)_ maupun keuangan (nurse).
Atas dasar itu, independensi kekuasaan kehakiman memerlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar. Mencermati penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa peradilan yang independen dapat terpenuhi jika kekuasaan kehakiman lepas dari segala macam bentuk pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain. Independensi kekuasaan kehakiman harus terpisah, bebas, dan tidak tunduk dari pengaruh kekuasaan negara yang lain baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan kekuasaan legislatif atau disebut juga sebagai independensi lembaga.
Sebelumnya, masih ada beberapa instrumen hukum internasional lainnya, yang juga mengatur terkait independensi kekuasan kehakiman. Salah satunya adalah Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, 1995.
Pada Pasal 2 Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region disebutkan bahwa Pasal 10 Deklarasi Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 14 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyebutkan bahwa, “setiap orang berhak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan terbuka dari pengadilan yang kompeten, independen, dan imparsial atau tidak memihak. Sebuah peradilan yang independen sangat diperlukan untuk menjamin penegakan hak tersebut.”