SATUARAH.CO - Renovasi Vihara Jiu Tien Kung, Sukabumi, Jawa Barat diduga ditolak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Cicurug dan sejumlah ormas. Mereka beralasan, renovasi Istana Langit ke 9 Jiu Tien Kung, Kebon Limus oleh Yayasan Gema Gita Nusantara itu tak memenuhi persyaratan dan mereka khawatir terjadi buddhanisasi terhadap warga Muslim.
Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) menyayangkan penolakan renovasi rumah ibadah umat Buddha tersebut.
"Hikmahbudhi menilai bahwasannya alasan penolakan tersebut sangat tidak berdasar dan berpotensi merusak persatuan dan kerukunan umat beragama, hal tersebut sangat berbahaya. Tidak menutup kemungkinan alasan alasan tersebut akan terus digunakan sebagai dalih pembenaran kaum mayoritas di berbagai daerah kepada minoritas," kata Ketua Bidang Kajian Strategis, Penelitian dan Pengembangan PP Hikmahbudhi, Jan Suharwantono dalam keterangannya, Rabu (29/6/22).
Baca Juga: Pj Bupati Bekasi Dorong PT BBWM Miliki Usaha Bidang Energi Terbarukan
Ia menuturkan, secara prinsip hak beragama mencakup hak kebutuhan beribadah. Namun, kenyataannya hingga hari ini konflik penolakan pembangunan rumah ibadah masih saja terjadi. Penolakan pendirian rumah ibadah, kata Jan, menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun yang sampai hari ini pemerintah cenderung tidak mampu memberikan jaminan rasa aman dan keadilan.
"Alasan klasik rumah ibadah tak memiliki izin acap menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran, dan diskriminasi," ujarnya.
Sejumlah peraturan diskriminatif dan pemerintah daerah yang kerap tak bergigi terhadap tekanan kelompok intoleran, menurutnya semakin menyudutkan kaum minoritas. Seperti hadirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama Pemberdayaan FKUB, dan pendirian rumah ibadah.
Baca Juga: Resmi Rilis Logo Baru, Ini Menurut Ketum Persipasi Kota Bekasi
"Pada praktiknya, aturan tersebut seringkali digunakan untuk pembenaran melakukan tindakan intoleran dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di suatu wilayah di Indonesia," ungkap Jan.
Hikmahbudhi menegaskan, akan selalu mengingatkan dan mendorong pemerintah untuk serius dalam menangani persoalan intoleransi, dan diskriminasi.
Jangan sampai penyelesaian selalu melalui hukum yang mengorbankan kelompok minoritas atas nama tertib hukum dan kerukunan. Hukum, kata Jan semestinya berdasarkan kebenaran bukan maunya kelompok mayoritas.
Baca Juga: Asda III Kab Subang Lepas 137 Calhaj Kloter 2
"Itu juga akan memberikan pemahaman dan pendidikan kepada masyarakat bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara sesuai Pancasila, di banyak tempat masih kita temukan kelompok minoritas seringkali mesti tunduk, dipaksa menandatangani Surat pernyataan atau aturan dengan dalih kerukunan, yang padahal semua adalah kemauan sepihak kelompok mayoritas," tandas Jan.
"Pemerintah harus adil dan semestinya fokus pada persoalan intoleransi dan diksriminasi yang berpotensi merusak kerukunan dan persatuan antar sesama anak bangsa," imbuhnya.