SATUARAH.CO - Di tengah langit mendung Cirebon, sekelompok anak muda berkumpul. Mereka bukan sekadar berkumpul untuk protes, mereka hadir untuk menggambar garis— sebuah simbol bahwa batas telah dilewati, dan saatnya bertindak.
Dipimpin oleh Aldi Komara, koordinator Climate Rangers Cirebon, aksi bertajuk Draw The Line ini menjadi bagian dari gerakan global yang menggema di 33 titik di seluruh Indonesia.
Lebih dari 60 komunitas dan organisasi bergandengan tangan, menyuarakan keresahan yang sama: krisis iklim semakin nyata, ketidakadilan semakin dalam, dan kekerasan terhadap rakyat tak kunjung reda.
Aksi ini bukan tanpa momentum. Dalam hitungan hari, Presiden RI Prabowo Subianto akan menyampaikan pidatonya di Sidang Umum PBB di New York.
Baca Juga: Sejak Reformasi 1998, Pemerintah Tak Mau Menggratiskan Pendidikan Total
Indonesia juga akan mengumumkan komitmen iklim barunya—Second NDC. Dan enam minggu dari sekarang, dunia akan berkumpul di Brazil untuk COP30, menentukan arah masa depan planet ini.
Namun bagi para peserta aksi, masa depan bukan hanya soal angka emisi. Mereka membawa tuntutan yang lebih dalam:
- Keadilan iklim harus lahir dari partisipasi rakyat, bukan dari ruang rapat tertutup.
- RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan.
- Aktivis bukan musuh negara. Demonstrasi bukan kejahatan.
- Pejuang demokrasi yang ditahan harus dibebaskan.
Baca Juga: Patroli Rutin Polda Metro Jaya, Dialogis dan Berikan Himbauan ke Warga
- Pembunuh Munir dan korban lainnya harus diadili.
- POLRI dan lembaga negara harus direformasi secara menyeluruh.
Di tengah orasi dan poster yang digenggam erat, suara anak muda Cirebon bergema: Kami menuntut keadilan iklim dan menolak segala bentuk kekerasan.
Mereka tahu, menggambar garis bukan akhir dari perjuangan. Tapi itu adalah awal dari babak baru—di mana rakyat, bukan oligarki, memegang kendali atas masa depan bumi. √