SATUARAH.CO - Universitas Paramadina menggelar perayaan Dies Natalis ke-27 di Aula Lt 8 Gedung Nurcholis Madjid, Kampus Universitas Paramadina Cipayung, Jumat (10/1/25).
Acara ini turut dihadiri John Riady (CEO PT. Lippo Karawaci), Amminudin (Corporate Secretary Triputra Grup), Ari Dharma Stauss (Konrad Adenauer Stiftung), serta sejumlah tamu undangan lainnya.
Sidang Senat yang membuka acara dipimpin oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini.
Dalam sambutannya, Prof Didik J Rachbini menyampaikan perkembangan universitas yang kini telah memiliki 5.800 mahasiswa dengan target mencapai 10.000 mahasiswa, sebagaimana diamanatkan oleh Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina, Jusuf Kalla.
Universitas Paramadina juga mencatatkan pencapaian dengan memiliki 7 guru besar, 15 calon guru besar, 57 lektor, dan sejumlah asisten ahli yang terus bertambah.
Baca Juga: Polemik Penembakan TNI AL: Investigasi Hukum dan Langkah Penyelesaian
Hendro Martowardojo, Ketua Umum Yayasan Wakaf Paramadina mengungkapkan, kebanggaannya terhadap perkembangan Universitas Paramadina.
“Pembangunan kampus ini dimulai dari niat besar dan kerja keras yang kini mulai terwujud. Harapan kami, kampus ini akan terus berkembang dan menjadi mercusuar pendidikan di masa depan,” ujarnya.
Prof Komaruddin Hidayat dalam orasinya menyampaikan pandangannya mengenai perjalanan panjang Indonesia sebagai bangsa, mulai dari era penjajahan hingga demokrasi modern.
Dalam paparannya, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memahami perjalanan sejarah sebagai bekal membangun masa depan yang lebih baik.
Prof Komaruddin memulai dengan memuji visi para pemuda di era Budi Utomo pada 1908, seperti Muhammad Yamin, W.R. Supratman, Soegondo, dan lainnya, yang di usia muda sudah bermimpi besar untuk mempersatukan Indonesia.
“Pada usia di bawah 25 tahun, mereka memiliki keberanian untuk bermimpi besar, yang kemudian beresonansi dengan generasi 1945 dan mewujudkan berdirinya negara bangsa Indonesia” ujarnya.
Baca Juga: JAM Intelijen Sosialisasikan Rancangan Perpres Tentang Penertiban Kawasan Hutan
Ia menekankan bahwa kemampuan membaca tanda-tanda zaman menjadi kunci bagi para pendahulu untuk membangun fondasi bangsa. Tanpa visi yang visioner, Indonesia mungkin tidak akan pernah muncul di peta dunia sebagai sebuah negara merdeka.
Prof Komaruddin menggarisbawahi peran Bung Karno sebagai nation builder yang harus menghadapi konflik panjang bersama Bung Hatta untuk membangun persatuan bangsa.
Tragedi 1965 membawa Suharto ke panggung sejarah sebagai state builder, yang fokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
“Pak Harto dikenal sebagai Bapak Pembangunan, meskipun akhirnya tidak mampu menghadapi tekanan utang luar negeri dan tuntutan masyarakat yang berujung pada pengunduran dirinya” ungkapnya.
Melanjutkan cerita sejarah, ia menyebut masa transisi yang diwarnai oleh kepemimpinan BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati sebagai tonggak reformasi yang membuka ruang bagi demokratisasi. Perubahan besar seperti desentralisasi, kebebasan berserikat, dan sistem multipartai menjadi ciri khas era ini, yang kemudian diteruskan oleh Presiden SBY dengan stabilitas politik dan pengakuan internasional.
Namun, ia juga mencatat bahwa masa reformasi belum berhasil mengatasi korupsi secara signifikan.
Baca Juga: Kemenko Kumham Imipas Teken Perjanjian Kinerja dan Canangkan Pembangunan Zona Integritas WBK-WBBM
Pada Pemilu 2014, demokrasi Indonesia memasuki babak baru dengan Presiden Jokowi yang menjadi simbol demokrasi sejati.