Tunda Pemilu karena Pertumbuhan Ekonomi Sangat Janggal, Perludem Minta Elite Parpol Patuh Jalankan Konstitusi

photo author
- Sabtu, 26 Februari 2022 | 18:47 WIB
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. (republika.co.id)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. (republika.co.id)

SATUARAH.CO – Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyatakan, tidak ada satu pun negara di dunia menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.

Titi mengomentari wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden oleh elite partai politik.

"Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amendemen konstitusi," kata Titi Anggraini, Sabtu (26/2/2022).

Baca Juga: Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Jokowi Kontra dengan Kondisi Masyarakat, IPO: Rakyat Masih Kesulitan

Pegiat pemilu ini menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan sekaligus menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.

Ia menuturkan, pada masa pandemi Covid-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.

"Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka," ujarnya.

Baca Juga: Piala Dunia 2023: Shin Tae-yong Panggil 40 Pemain Timnas U-19 untuk TC di Korea Selatan

Kalau alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal dan tidak lazim. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.

Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, lanjut dia, jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.

Baca Juga: ini Dia Laporan Perkembangan Covid 19 Kota Bekasi

"Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita," tegas Titi.

Ia mengemukakan, budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dudun

Sumber: republika.co.id

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X