SATUARAH.CO – Perdebatan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) masih menjadi perdebatan elit dan diskursus publik yang menarik.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pihak yang mengajukan judicial review (JR) ke Mahakamah Konstitusi terkait Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Menariknya, pihak yang melakukan JR bukan hanya berasal dari civil society dan akademisi atau ahli hukum, tapi juga dari kader partai politik.
Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Sultan Bachtiar Najamudin menjadi salah satu Senator yang paling lantang menyuarakan pentingnya merevisi UU Pemilu yang cenderung eksklusif dan tidak demokratis itu.
BACA JUGA; Tidak Punya Itikad Baik, Kuasa Hukum HY Segera Laporkan Politikus Gerindra ke Prabowo
"Hegemoni politik yang tidak relevan dengan semangat demokrasi ini harus kita akhiri. Bahwa benar konstitusi mensyaratkan partai politik sebagai kendaraan politik capres, tapi parpol tidak bisa mengklaim menjadi pihak yang paling baik dan paling berjasa dalam membangun demokrasi," kata Sultan dalam keterangan yang diterima wartawan, Jumat (17/12/2021).
Menurutnya, PT 20 persen merupakan wujud diskriminasi politik terhadap partai politik tertentu. Serta menegasikan realitas demografi Indonesia yang sangat besar ini. Tidak adil jika rakyat yang berjumlah 270 juta jiwa ini hanya disuguhi dengan dua pilihan capres yang merupakan hasil skenario politik elit.
"Partai politik seharusnya menjadi pihak yang paling dirugikan dengan ketentuan ini. Karena Setiap partai tentu memiliki visi dan platform politik yang berbeda. Namun karena partai cenderung pragmatis dan tidak ideologis, maka hal ini menjadi lumrah," ungkapnya, dilansir satuarah.co dari telusur.co.id.
Akibatnya, kata Sultan, parpol kehilangan perannya dalam melahirkan calon pemimpin. Kalapun ada calon presidennya itu-itu saja. Parpol gagal meregenerasi sel-sel kepemimpinan bangsa, berikut tugas edukasi politiknya bagi masyarakat.
BACA JUGA; Raih Penghargaan pada Ajang AK-PWI, Wali Kota Bekasi Paparkan Ini
Karena parpol lebih memilih berkoalisi dengan pemerintah, tambahnya, akibatnya landscape demokrasi kita menjadi kering. Buktinya indeks demokrasi Indonesia sejak 2020 menempati titik terendahnya sejak reformasi. Bahkan indeks demokrasi kita kalah dari Timor leste.
"Artinya, parpol yang seharusnya melahirkan politisi-politisi yang ideal bagi demokrasi justru mencari aman di ruang kekuasaan. Bahkan ketua umum partai bersedia menjadi pembantu presiden. Akibatnya demokrasi kita terkesan hanya melahirkan politisi, bukan negarawan," terang Sultan
Dikatakannya, pengalaman dua kali pilpres terakhir harus dijadikan pelajaran berharga. Dengan ambang batas yang demikian tinggi, menyebabkan partai politik hanya terafiliasi dalam dua poros koalisi besar. Di sanalah oligarki dengan kekuatan modalnya bermain lalu mempengaruhi hasil pemilu dan kebijakan politik pemerintahan selanjutnya.
"Pemilu sekedar menjadi formalitas demokrasi. Tidak memberikan solusi kepemimpinan nasional yang ideal dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tapi pemimpin yang sesuai kehendak oligarki," ujarnya.