2. Pasal 35 yang mewajibkan media menyensor konten "bermasalah" tanpa definisi jelas.
3. Pasal 42 yang memberi kewenangan besar pada negara dalam pencabutan izin siaran.
"Jika tidak hati-hati, RUU ini bisa menjadi alat represi baru," tegas Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang. "Kami minta DPR memastikan UU ini tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip kemerdekaan pers."
AJI dan AVISI Desak Perlindungan Konten Kreator Digital
Tak hanya PWI, perwakilan AJI dan AVISI juga menyampaikan kekhawatiran serupa.
Mereka menekankan bahwa RUU Penyiaran harus melindungi konten kreator digital tanpa membebani dengan regulasi berlebihan.
"Platform digital berkembang pesat. Regulasi harus fleksibel, bukan menghambat inovasi," kata perwakilan AVISI.
Sementara itu, AJI menegaskan bahwa UU Penyiaran tidak boleh digunakan untuk membatasi pemberitaan kritis.
"Kami menolak segala bentuk kriminalisasi jurnalis dengan dalih pelanggaran penyiaran," tegas perwakilan AJI.
Arah Revisi RUU Penyiaran: Perlindungan Publik vs Kebebasan Pers
Komisi I DPR RI berjanji kan mempertimbangkan semua masukan sebelum RUU dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Beberapa poin yang akan menjadi fokus:
✅ Menghindari tumpang tindih regulasi antara UU Penyiaran dan UU Pers.
✅ Memastikan perlindungan kebebasan pers sambil menjaga etika jurnalistik.
✅ Mengakomodir perkembangan teknologi tanpa over-regulasi.
Akankah RUU Penyiaran Jadi Ancaman Atau Solusi?