SATUARAH.CO - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kebumian I yang diselenggarakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTPP) Universitas Papua (UNIPA) secara daring melalui telekonferensi.
Seminar ini diadakan dalam rangka Dies Natalis ke-10 FTPP UNIPA dengan tema "Ilmu Kebumian untuk Percepatan Pembangunan" serta sistem
"Peran Serta Ilmu Kebumian untuk Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berbasis Konservasi dalam Pembangunan Berkelanjutan, Khususnya di Papua Barat", Selasa (19/2/25).
Dalam pemaparannya, Dwikorita menekankan bahwa Papua, terutama wilayah Papua Barat, merupakan salah satu daerah dengan aktivitas kegempaan tertinggi di Indonesia akibat pertemuan lempeng tektonik serta adanya sejumlah sesar aktif.
Berdasarkan data BMKG, terdapat delapan sumber gempa utama di Papua, termasuk Sesar Sorong, Sesar Yapen, dan Sesar Memberamo, yang memiliki potensi besar menimbulkan gempa bumi merusak.
Selain itu, Dwikorita Karnawati juga menyoroti fenomena seismic gap, yaitu zona yang tampak sepi gempa dalam jangka waktu lama, tetapi sebenarnya sedang mengalami akumulasi energi tektonik yang sewaktu-waktu dapat dilepaskan dalam bentuk gempa besar.
Hal ini menjadi perhatian serius bagi para ahli geologi dan pemangku kebijakan di Papua Barat dalam upaya mitigasi bencana.
Selain gempa bumi, seminar ini juga membahas sejarah panjang tsunami di Papua, yang telah terjadi lebih dari sembilan kali sejak tahun 1800-an.
Salah satu tsunami terdahsyat tercatat pada gempa Biak tahun 1996 (Mw 8,2) yang menelan 107 korban jiwa dan 51 orang hilang. Bahkan, gempa Manokwari tahun 2009 (Mw 7,6) yang episentrumnya berada di darat tetap memicu tsunami setinggi 1,8 meter, menandakan bahwa tsunami tidak hanya terjadi akibat gempa bawah laut, tetapi juga bisa dipicu oleh longsor bawah laut akibat guncangan.
Dalam rangka mengurangi risiko bencana, BMKG telah memasang 77 seismograf broadband dan dua seismograf short period di Papua
untuk memantau aktivitas seismik secara real-time.
Baca Juga: Ini Tanggapan PT BMN, Soal Rumor Penutupan Akses Warga di Jalan Tambun Kutut
Selain itu, Prof Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya penyesuaian tata ruang berbasis mitigasi bencana, dengan menempatkan zona merah sebagai wilayah yang memerlukan perhatian khusus dan penerapan standar bangunan tahan gempa.
"Kesiapsiagaan harus dimulai dari sekarang. Tidak hanya dengan standar bangunan tahan gempa, tetapi juga dengan pelatihan evakuasi rutin, pemasangan jalur dan rambu evakuasi yang jelas, serta edukasi kepada masyarakat mengenai tindakan sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi,” kata Dwikorita, saat keterangan, Rabu (19/2/25).