Oleh: Naupal AL Rasyid, SH, MH (Direktur LBH FRAKSI ’98)
SATUARAH.CO - Batas permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) disebutkan pada Pasal 74 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pasal 474 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilhan Umum (UU Pemilu) hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam atau 3 (tiga) hari sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkam penetapan hasil pemilu secara nasional dan wajib diputuskan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Konstitusi (BRPK) untuk PHPU Presiden/Wakil Presiden, sedangkan untuk PHPU anggota DPR, DPD dan DPRD paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.
Adapun permohonan yang kurang lengkap dapat memperbaiki dan melengkapi paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya permohonan oleh MK. Namun, apabila permohonan pemohon diajukan melampaui tenggang waktu yang ditentukan oleh ketentuan tersebut, maka Panitera MK tidak menerima permohonan pemohon dan akan menerbitkan akta tidak diregistrasi. Jika permohonan pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi persyaratan, Panitera MK akan menerbitkan akta register perkara dan mencatatnya dalam BRPK.
Baca Juga: Soal Publisher Right, Jaringan Pemred Promedia (JPP) Audiensi dengan Dewan Pers
Pengajuan permohonan dapat diajukan ke MK melalui permohonan daring (online) sebagaimana ditentukan Pasal 7 ayat (2) Peraturan MK No. 2 tahun 2023 tentang Tata Beracara PHPU Anggota DPR dan DPD. Permohonan daring (online) yang diatur dalam Pasal Pasal 10 ayat (2) Peraturan MK No. 2 tahun 2023 diserahkan dalam bentuk hardcopy sesuai dengan permohonan yang diajukan secara daring (online) paling lambat 3 x 24 jam yang disampaikan dalam tenggang waktu pengajuan permohonan dan/atau tenggang waktu pengajuan perbaikan permohonan sekaligus dengan perbaikan dan kelengkapan Permohonan. Permohonan dalam perkara PHPU DPR dan DPRD para pemohon adalah partai politik peserta pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU MK dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan MK No. 2 tahun 2023 menyatakan, pengajuan Permohonan dilakukan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu. (2) Pengajuan Permohonan oleh DPP Partai Politik peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya.
Sehingga para pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat mengajukan permohonan apabila tidak terdapat persetujuan dari pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK dan Pasal 8 ayat (2) Peraturan MK No. 2 tahun 2023 menyatakan dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapakan suara yang benar menurut pemohon.
Baca Juga: Apresiasi Jaksa Agung Dalam Acara CNN Indonesia Award Dari Sulsel Untuk Nusantara
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 UU MK menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukan dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib mengurai dengan jelas: (1) Kesalahan hasil penghitungan uara yang diumumkan oleh KPU dan hasil pemghitungan yang benar menurut pemohon. (2) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Terkait hal itu, Ibnu Sina Chandranegara (2021) mengemukakan bahwa permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal proses pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, pemohon menjelaskan mulai sejak mendaftarkan selaku calon, penetapannya, kampanye dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu menyakinkan hakim untuk memutuskaan sesuai permohonan pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus. Dalam sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar MK memerintahkan Termohon (KPU dan jajaran di daerah) untuk melakukan suatu hal, sehingga dapat saja atas dasar permohonan MK memerintahkan Termohon untuk melaksankan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara (pemilu) ulang.
Baca Juga: Apresiasi Jaksa Agung Dalam Acara CNN Indonesia Award Dari Sulsel Untuk Nusantara
Selanjutnya, permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan tersebut dianggap pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara.
Terkait dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU tersebut. MK dapat menilai bahwa pejabat penyelenggara pemilu menyalahgunakankan kewenangan (detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan pemilu. Penyalahgunaan tersebut apabila oleh MK dianggap telah menyebabkan memengaruhi hasil suara signifikan dalam pemilu dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit).
MK dapat kemudian membatalkan hasil pemilu diakibatkan penyalahgunaan kewenangan tersebut sesuai dengan semangat perlindungan konstitusionalitas penyelenggara pemilu.