"Data SiPongi KLHK mencatat pada tahun 1997 luas total Karhutla mencapai 4,5 juta hektare; 2015, 2,6 juta hektare; 2018, 0,5 juta hektare; dan 2019 mencapai 1,9 juta hektare. Oleh karenanya, dalam melakukan upaya mitigasi Karhutla, dalam beberapa momen BMKG melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) untuk meminimalisir dampak yang dihasilkan," tandasnya.
Di sisi lain, Seto mengajak seluruh tokoh agama dan komunitas untuk memahami bahwa Indonesia merupakan negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Karena dari luas hutan tersebut, Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi salah satu penyerap karbon terbesar di dunia dan memberikan umpan balik terhadap kondisi iklim.
"Hasil penelitian menunjukkan hutan tropis yang utuh (tropical intact forest) menyerap karbon dalam jumlah besar, yaitu sekitar 1,07 miliar ton karbon per tahun, dan hutan tropis yang sedang mengalami pertumbuhan kembali menyumbang hingga 1,46 miliar ton karbon per tahun. Namun pada saat sama, ada satu ironi, jumlah karbon yang dilepaskan akibat deforestasi di wilayah tropis baik karena penebangan maupun kebakaran hutan sangat besar, yaitu sekitar 2,24 miliar ton karbon per tahun," imbuh Seto.
Seto berharap pembekalan ini mampu menggerakkan lebih banyak masyarakat melalui para tokoh agama dalam upaya meredam laju pemanasan global serta laju perubahan iklim melalui menjaga hubungan baik antara manusia, hutan, dan bumi.
Termasuk juga demi mengurangi dampak bencana yanng akan terjadi.
"Saya yakin dengan kekuatan sentuhan keagamaan, sentuhan spiritual, akan lebih mudah digerakkan umat kita yang sangat meyakini agama,” tuturnya.
Baca Juga: Arahan Tegas Presiden, Pemerintah Cabut 4 IUP Tambang di Raja Ampat
Sementara itu, Ketua Umum Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia Hayu Prabowo mengungkapkan bahwa pelestarian hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau organisasi lingkungan, tapi juga membutuhkan partisipasi aktif seluruh masyarakat.
Dengan menggabungkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritualitas, diharapkan upaya pelestarian hutan dapat dilakukan secara lebih realistis dan berkelanjutan.
"Pembekalan ini merupakan langkah awal dalam membangun kesadaran dan aksi nyata pemuka agama dalam melindungi hutan tropis untuk generasi mendatang. Tokoh agama merupakan pemimpin moral yang memiliki peran krusial yang dapat menyatukan kesan spiritualitas dari semua keyakinan untuk mengajak umat menjaga hutan. Sebagaimana diketahui, nilai-nilai luhur agama mengajarkan untuk melestarikan alam sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab kepada Tuhan untuk kesejahteraan kehidupan manusia saat ini dan generasi mendatang," katanya.
Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari pada 11-12 Juni 2025 dengan kolaborasi antara IRI Indonesia, BMKG, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan CIFOR-ICRAF. √