Termasuk dalam proses pemutakhiran data, keluarga-keluarga yang ditemui TPK diharapkan dapat memberikan data yang akurat, sesuai kondisi sebenarnya. Petugas verifikasi dan validasi (verval) akan mencatat dan melaporkan adanya pemutakhiran atau perbaikan data keluarga sasaran, menggunakan formulir keluarga berisiko stunting.
Formulir ini sedikitnya mencatat nama kepala keluarga dan alamat, serta keberadaan anak baduta, balita, pasangan usia subur (PUS), dan ibu hamil. Selain itu faktor-faktor lain ikut dicatatkan, seperti: kondisi lingkungan (ada atau tidaknya sumber air minum layak, dan jamban layak), kondisi PUS (4 terlalu), keberadaan keluarga dengan kategori risiko, dan keberadaan kasus stunting, dan ada atau tidaknya pendampingan dari tim pendamping keluarga.
Sementara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan faktor utama terjadinya stunting khususnya di Jawa Barat adalah karena kebersihan lingkungan yang kurang terjaga dan merebaknya "4 Terlalu".
"Air bersih dan jamban yang memadai misalnya masih sulit didapatkan masyarakat, terus juga ada 4 terlalu. Yaitu terlalu muda menikah dan melahirkan, terlalu tua dan terlalu sering dalam melahirkan dan terlalu dekat jarak kehamilannya apalagi ini WFH ya, kerjaannya hanya berduaan sama suami, ya jadi beresiko punya anak lagi," terang Ridwan.
Untuk di Jawa Barat, Ridwan menjelaskan, dari hampir 50 juta penduduk, 13 persennya mengalami stunting. Diketahui berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting nasional saat ini masih berada pada angka 24,4 persen.
Angka ini masih lebih tinggi dari standar WHO sebesar 20 persen dan jauh dari target tahun 2024 yakni sebesar 14 persen untuk Indonesia. √