SATUARAH.CO - Universitas Tarumanagara (Untar) melalui mahasiswa Fakultas Hukum melaksanakan wawancara akademik dengan Rektor Universitas Buddhi Dharma (UBD), Dr. Limajatini, S.E., M.M., B.K.P., C.T.C., C.M.A., sebagai bagian dari pemenuhan tugas mata kuliah Humaniora yang mengangkat kajian ilmiah berjudul “Analisa Penyalahgunaan AI dalam Memanipulasi Opini Publik di Media Sosial".
Wawancara ini menjadi bagian dari pendalaman materi Humaniora yang menekankan hubungan antara perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap kehidupan sosial, termasuk maraknya penggunaan kecerdasan buatan—seperti deepfake dan rekayasa visual—yang kini menimbulkan ancaman serius terhadap integritas informasi di ruang digital.
Baca Juga: STMKG Rayakan Dies Natalis ke 70
Dalam wawancara tersebut, Dr. Limajatini menegaskan bahwa penyalahgunaan AI kini menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
“Teknologi AI menawarkan kemudahan, tetapi ketika digunakan tanpa tanggung jawab, dampaknya bisa menghancurkan kepercayaan publik. Manipulasi video, audio, dan gambar melalui deepfake dapat mengaburkan batas antara fakta dan rekayasa. Ini berbahaya bagi demokrasi dan kehidupan sosial,” kata Limajatini, Minggu (16/11).
Ia juga menyoroti perlunya regulasi adaptif serta peningkatan literasi digital masyarakat.
Sementara itu, Perwakilan Mahasiswa, Winson menjelaskan, wawancara ini memberikan pemahaman penting mengenai skala ancaman yang dihasilkan oleh teknologi tersebut.
“Kami menemukan bahwa tantangan hari ini bukan hanya hoaks berbasis teks, tetapi krisis kepercayaan akibat konten AI yang tampak sangat nyata. Deepfake dapat memengaruhi opini publik, merusak reputasi, bahkan memicu perpecahan sosial,” tegas Winson.
Baca Juga: Masya Allah, Kesembuhan Ajaib di Malam Jumat Kliwon Gunung Padang
Elsa Omega Napitupulu sebagai Anggota Kelompok menambahkan, "Pembahasan dengan Ibu Rektor menegaskan bahwa solusi tidak bisa hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga edukasi masyarakat agar lebih kritis dalam menerima informasi digital".
Samuel Hotdin turut menyoroti relevansi penelitian mereka dengan kondisi literasi digital saat ini.
“Mayoritas pengguna media sosial masih sulit membedakan mana konten asli dan mana yang dimanipulasi AI. Inilah alasan mengapa penyalahgunaan AI menjadi efektif dalam membentuk opini publik, terutama ketika disebarkan melalui algoritma yang memprioritaskan konten viral,” ungkap Samuel.
Senada dengan itu, Nadia Inggrida Prashayu menekankan bahwa kekosongan hukum terkait AI memperbesar risiko penyalahgunaan.
“UU ITE belum mengatur penggunaan deepfake secara spesifik, sehingga banyak kasus berada di area abu-abu hukum,” imbuh Nadia.