SATUARAH.CO - Di sebuah kampung bernama Sepatan, Distrik Bekasi, tahun 1905, lahirlah seorang anak dari keluarga berada bernama Sa’adah bin Haji Sulaeman, kelak lebih dikenal dengan nama Haji Djole.
Siapa sangka, anak yang tumbuh dalam keluarga kaya dan terpandang itu kelak menjadi mimpi buruk bagi Belanda dan Inggris.
Rumah keluarganya bukan rumah biasa. Menurut sejarawan Bekasi, Endra Kusnawan dalam bukunya Pejuang Bekasi Era Perang Revolusi, seperti yang dilansir dari Instagram WajahBekasi pada Rabu, 24 September 2025, kediaman orang tua Haji Djole menjadi tempat berkumpulnya para pejuang.
Dari sanalah rencana perlawanan disusun. Haji Djole pun tumbuh sebagai sosok yang tak hanya dihormati di lingkungannya, tapi juga ditakuti penjajah.
Masuk Radar Intelijen Belanda
Awal 1946, intelijen Belanda mencatat nama Haji Djole sebagai “orang berbahaya.”
Dalam laporan tertanggal 26 Januari 1946, ia disebut telah banyak membunuh tentara Inggris dan Belanda dengan markas di Bekasi.
Pengaruhnya meluas hingga Pekayon, Teluk Pucung, dan Karang Congok.
Tak berhenti di situ, laporan 7 Maret 1946 menulis bahwa Haji Djole adalah tangan kanan Pak Matjan dari Cibarusah dan bagian dari kelompok Haji Darip di Klender.
Bersama mereka, ia melakukan aksi teror gerilya terhadap Belanda.
Bagi Belanda, ia “perampok” yang meresahkan. Tapi bagi rakyat, Haji Djole adalah pahlawan. Sosok yang berani melawan, meski nyawa jadi taruhannya.
Jejak Keluarga Pejuang
Haji Djole tidak sendirian. Kakaknya, Haji Saadih Pardia, pernah menjabat sebagai camat di Setu, Pebayuran, hingga Cibitung.
Dari garis keluarga besar ini pula lahir tokoh-tokoh penting Bekasi, salah satunya Haji Akhmad Zurfaih, Wali Kota Bekasi periode 2003–2008.
Artinya, darah perjuangan dan kepemimpinan memang mengalir kuat di keluarga besar ini.