nasional

DEN: Transisi Listrik Fosil ke EBT jangan Bebankan APBN

Rabu, 8 November 2023 | 14:48 WIB
Hidayat Rahmat

SATUARAH.CO - Rencana pemerintah melalui kementerian ESDM untuk segera menghentikan operasi beberapa unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih mengurai problem, terkait dengan skema kerjasama maupun regulasi dalam soal pendanaan, apalagi rencana untuk mempensiunkan Calon PLTU yang ada melibatkan APBN, tentu menjadi beban baru dalam postur anggaran peta jalan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan jika demikian.

"Sebelumnya kementerian Keuangan telah menerbitkan peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 Tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan," kata Kordinator Daulat Energi Nasional (DEN), Hidayat Rahmat, Rabu (8/11/23).

Jika program transisi energi ini menjadi bagian dari kebutuhan prioritas kepentingan masyarakat mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun hal ini terlintas pertanyaan di benak masyarakat awam, apakah program tersebut akan menyelesaikan juga krisis Listrik di sejumlah daerah? dan apakah dengan program ini masyarakat akan menikmati listrik murah atau sebaliknya?. Atau apakah penyebab utama peningkatan emisi gas rumah kaca adalah PLTU?.

"Tantangan ini harus diklarifikasi pemerintah kepada publik, adanya rencana penggunaan pos APBN perihal program Transisi energi atau sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali skenario keterlibatan APBN dan menggunakan opsi lain seperti mereview kembali poin poin yang tertuang dalam Perjanjian Paris terkait skema pendanaan," ujarnya.

"Perubahan iklim adalah keadaan darurat global yang melampaui batas negara. Ini adalah masalah yang memerlukan kerja sama internasional dan solusi terkoordinasi di semua tingkatan," tambahnya.

Untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya, para pemimpin dunia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris mencapai terobosan pada 12 Desember 2015:

Perjanjian Paris yang bersejarah. Perjanjian ini menetapkan tujuan jangka panjang untuk memandu semua negara:

Mengurangi emisi gas rumah kaca global secara substansial untuk membatasi kenaikan suhu global pada abad ini hingga dua derajat Celcius sambil mengupayakan upaya untuk membatasi peningkatan tersebut lebih jauh lagi hingga 1,5 derajat, meninjau komitmen negara-negara setiap lima tahun, memberikan pembiayaan kepada negara-negara berkembang untuk melakukan mitigasi perubahan iklim, memperkuat ketahanan dan meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap dampak iklim.

"Perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum. Ini mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016. Saat ini, 195 Pihak (194 Negara ditambah Uni Eropa) telah bergabung dalam Perjanjian Paris.

Perjanjian tersebut mencakup komitmen semua negara untuk mengurangi emisi mereka dan bekerja sama untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan menyerukan negara-negara untuk memperkuat komitmen mereka seiring berjalannya waktu," ungkap Hidayat.

Lebih lanjut, Hidayat mengungkapkan, perjanjian ini memberikan jalan bagi negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim mereka sekaligus menciptakan kerangka kerja untuk pemantauan dan pelaporan tujuan iklim negara-negara secara transparan.

Perjanjian Paris memberikan kerangka kerja tahan lama yang memandu upaya global selama beberapa dekade mendatang.

"Hal ini menandai dimulainya peralihan menuju dunia emisi nol bersih. Implementasi Perjanjian ini juga penting untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," tandasnya. √

Tags

Terkini