“Tidak semua produk jurnalistik otomatis dilindungi hukum. Jika ada unsur mens rea, penggiringan opini, atau itikad tidak baik, maka wartawan bisa berhadapan dengan risiko pidana, termasuk UU ITE,” jelasnya.
Baca Juga: Jelang Nataru 2025 - 2026, IAS Group Lakukan Langkah Penting di Bandara
Ia mengingatkan wartawan agar memahami batas antara kritik jurnalistik dan pelanggaran hukum.
Etika Lapangan, Organisasi Pers, dan Bahaya Logical Fallacy
Pada sesi materi utama, Direktur UKW PWI Pusat Aat Surya Safaat mengajak wartawan kembali pada nilai dasar profesi.
“Wartawan keluar rumah harus berniat baik. Niat baik itu tercermin dari cara konfirmasi, cara doorstop, dan cara menulis yang berimbang. Jangan pernah melupakan kode etik jurnalistik,” katanya.
Sekjen SMSI Pusat Makali Kumar, S.H., M.H. menyoroti pentingnya profesionalisme dan tata kelola media siber.
“Media digital menuntut kecepatan, tapi organisasi pers harus tetap menjaga disiplin, struktur, dan standar etik. Tanpa itu, media mudah tergelincir,” ujarnya.
Sementara Tenaga Ahli Dewan Pers Hendrayana, S.H., M.H. mengupas bahaya logical fallacy dalam pemberitaan.
“Kesalahan logika, framing berlebihan, dan generalisasi sering menjadi pintu masuk sengketa pers. Wartawan harus sadar bahwa kesalahan berpikir bisa berujung konflik hukum,” paparnya.
Diskusi interaktif yang menyusul memperlihatkan antusiasme peserta, dengan berbagai pertanyaan kritis seputar kriminalisasi pers, batas kebebasan berekspresi, hingga etika di era clickbait.
PWI Bekasi Raya: Tegas Membina, Bukan Membiarkan
Menutup rangkaian acara, Ketua PWI Bekasi Raya Ade Muksin, S.H. kembali menegaskan komitmen organisasi.
“PWI Bekasi Raya memilih jalur pembinaan, bukan pembiaran. Kami ingin wartawan di Bekasi Raya kuat secara etik, cerdas secara hukum, dan matang secara profesional. Inilah cara kami menjaga marwah pers,” tandasnya.